Dari ketinggian ribuan kaki di atas Palembang, 48 penumpang pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesia itu gemetar. Mereka tak kuasa menahan tangis karena pesawat tujuan Polonia, Medan, yang mereka tumpangi, dibajak sekelompok orang.
Oleh pembajak, pesawat itu pun dibablaskan hingga ke Bandara Penang, Malaysia. Usai mengisi bahan bakar di Negeri Jiran, itu pembajak lalu mengarahkan pesawat ke Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Tiga hari bertahan di bandara atau 31 Maret 1981, pembajak yang menamakan diri Komando Jihad, itu akhirnya berhasil dilumpuhkan lewat operasi militer pasukan Kopassandha (sekarang Kopassus) yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan.
Dalam buku biografinya 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' (2009), Sintong menggambarkan jalannya operasi yang rumit namun berbuah manis: tak ada satu pun korban dari penumpang.
Sejarah mencatat, operasi pembebabasan sandera itu hanya berlangsung 3 menit. Peristiwa Woyla, demikian operasi itu dikenang, tercatat sebagai peristiwa terorisme bermotif jihad pertama yang menimpa Indonesia, dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Kini 30 tahun setelah Peristiwa Woyla itu, pembajakan terjadi pada Kapal MV Sinar Kudus asal Indonesia. Kapal yang diawak 31 ABK, 20 di antaranya dari WNI, itu dibajak oleh perompak Somalia di perairan Laut Arab, saat melakukan perjalanan dari Pomalaa, Sulawesi Selatan menuju ke Rotterdam, Belanda, 16 Maret lalu.
Sangat berbeda dengan langkah pemerintahan Orde Baru saat itu, kini hampir sebulan berlalu, belum ada langkah signifikan pemerintah Indonesia untuk membebaskan sandera di kapal kargo bermuatan biji nikel itu.
Juru Bicara Kepresidenan bidang Luar Negeri, Teuku Faizasyah membantah pemerintah tidak berbuat apa-apa. Menurutnya, pemerintah sudah menginstruksikan agar penyelamatan dilakukan maksimal, namun pembebasan sandera membutuhkan waktu.
"Saya rasa ini sedang ditangani pihak terkait," kata Faizasyah dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (10/4).
Pemerintah, kata Menko Polhukam Djoko Suyanto, juga melakukan koordinasi dengan pemilik kapal. Pemilik kapal, katanya, akan memenuhi uang tebusan dari pembajak.
"Pemilik kapal berjanji akan penuhi tuntutan pembajak, kontak person siapa, delivery dan jaminan kapal dan awaknya nanti," papar Djoko sembari menambahkan kapal yang dibajak telah diasuransikan, baik isi muatan kapal maupun kapalnya itu sendiri.
Namun dalam keterangan persnya, PT Samudera Indonesia Tbk selaku pemilik kapal enggan membeberkan apakah tebusan sudah dibayar atau belum. Alasannya, pembebasan kapal bukan sekadar soal membayar tebusan.
"Pada 2010 ada lebih dari 70 pembajakan yang berlanjut selama lebih dari 150 hari. Ini bukan soal bayar tebusan atau tidak bayar tebusan. Waktu paling singkat yang kami catat, kurang lebih 60 hari untuk membebaskan," ujar Wakil Direktur Utama PT Samudera Indonesia, David Batubara kemarin.
Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengatakan, sebenarnya ada 4 opsi dalam menyelasaikan kasus pembajakan, yakni memenuhi tuntuntan perompak, jalur diplomasi, menggunakan mediator atau operasi militer.
Melihat pemerintah Somalia yang tidak bisa menertibkan perompak dan pemerintah RI yang tidak punya akses ke perompak, lanjut Hasanuddin, opsi diplomasi dan penggunaan mediator menjadi sangat sulit.
"Opsinya hanya dua, penuhi tuntutan perompak atau operasi militer," ujar dia.
Oleh pembajak, pesawat itu pun dibablaskan hingga ke Bandara Penang, Malaysia. Usai mengisi bahan bakar di Negeri Jiran, itu pembajak lalu mengarahkan pesawat ke Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Tiga hari bertahan di bandara atau 31 Maret 1981, pembajak yang menamakan diri Komando Jihad, itu akhirnya berhasil dilumpuhkan lewat operasi militer pasukan Kopassandha (sekarang Kopassus) yang dipimpin oleh Letkol Inf Sintong Pandjaitan.
Dalam buku biografinya 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' (2009), Sintong menggambarkan jalannya operasi yang rumit namun berbuah manis: tak ada satu pun korban dari penumpang.
Sejarah mencatat, operasi pembebabasan sandera itu hanya berlangsung 3 menit. Peristiwa Woyla, demikian operasi itu dikenang, tercatat sebagai peristiwa terorisme bermotif jihad pertama yang menimpa Indonesia, dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Kini 30 tahun setelah Peristiwa Woyla itu, pembajakan terjadi pada Kapal MV Sinar Kudus asal Indonesia. Kapal yang diawak 31 ABK, 20 di antaranya dari WNI, itu dibajak oleh perompak Somalia di perairan Laut Arab, saat melakukan perjalanan dari Pomalaa, Sulawesi Selatan menuju ke Rotterdam, Belanda, 16 Maret lalu.
Sangat berbeda dengan langkah pemerintahan Orde Baru saat itu, kini hampir sebulan berlalu, belum ada langkah signifikan pemerintah Indonesia untuk membebaskan sandera di kapal kargo bermuatan biji nikel itu.
Juru Bicara Kepresidenan bidang Luar Negeri, Teuku Faizasyah membantah pemerintah tidak berbuat apa-apa. Menurutnya, pemerintah sudah menginstruksikan agar penyelamatan dilakukan maksimal, namun pembebasan sandera membutuhkan waktu.
"Saya rasa ini sedang ditangani pihak terkait," kata Faizasyah dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (10/4).
Pemerintah, kata Menko Polhukam Djoko Suyanto, juga melakukan koordinasi dengan pemilik kapal. Pemilik kapal, katanya, akan memenuhi uang tebusan dari pembajak.
"Pemilik kapal berjanji akan penuhi tuntutan pembajak, kontak person siapa, delivery dan jaminan kapal dan awaknya nanti," papar Djoko sembari menambahkan kapal yang dibajak telah diasuransikan, baik isi muatan kapal maupun kapalnya itu sendiri.
Namun dalam keterangan persnya, PT Samudera Indonesia Tbk selaku pemilik kapal enggan membeberkan apakah tebusan sudah dibayar atau belum. Alasannya, pembebasan kapal bukan sekadar soal membayar tebusan.
"Pada 2010 ada lebih dari 70 pembajakan yang berlanjut selama lebih dari 150 hari. Ini bukan soal bayar tebusan atau tidak bayar tebusan. Waktu paling singkat yang kami catat, kurang lebih 60 hari untuk membebaskan," ujar Wakil Direktur Utama PT Samudera Indonesia, David Batubara kemarin.
Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengatakan, sebenarnya ada 4 opsi dalam menyelasaikan kasus pembajakan, yakni memenuhi tuntuntan perompak, jalur diplomasi, menggunakan mediator atau operasi militer.
Melihat pemerintah Somalia yang tidak bisa menertibkan perompak dan pemerintah RI yang tidak punya akses ke perompak, lanjut Hasanuddin, opsi diplomasi dan penggunaan mediator menjadi sangat sulit.
"Opsinya hanya dua, penuhi tuntutan perompak atau operasi militer," ujar dia.