Kisah pembajakan MV Sinar Kudus hampir sebulan berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda tindakan apapun yang dilakukan Pemerintah RI. Satu-satunya perkembangan adalah naiknya jumlah tuntutan pembajak dari semula US$ 2 juta menjadi US$ 3.5 juta (Rp 31 milyar).
Publik mulai tidak sabar dan tuntutan agar Pemerintah RI mengambil langkah militer mulai terdengar. Rakyat mulai menggugat kenapa sekian banyak pasukan elit milik TNI yang kerap mempertontonkan keterampilannya di acara-acara seremonial justru tidak tampil ke depan dalam krisis pembajakan ini.
Ada dua cara untuk membebaskan kapal yang dibajak: membayar tebusan atau opsi militer. Aksi militer memang jauh lebih bergengsi, laku dijual sebagai berita, dan bisa mendongkrak kebanggaan nasional (dengan catatan jika operasinya berhasil).
Tapi tahukah Anda bahwa negara dengan militer kuat seperti Jerman sekalipun memilih untuk membayar tebusan uang ketimbang operasi militer?
Aksi militer memiliki tingkat kesulitan jauh lebih tinggi. Pertama, kapal yang dibajak biasanya langsung ditarik ke perairan Somalia. Menyerang masuk ke teritorial Malaysia saja TNI takut, apalagi masuk ke wilayah Somalia. Dan harus diketahui bahwa garis pantai Somalia sangat panjang (3300 kilometer) sehingga menjadi tantangan berat mencari dimana lokasi kapal MV Sinar Kudus.
Kedua, masalah pengangkutan pasukan khusus dan logistiknya ke lokasi pembajakan. Jika pembajaknya hanya 5 orang yang bisa ditangani oleh 10-15 anggota pasukan elot TNI, masalahnya tidak terlalu ruwet. Yang menjadi soal adalah banyaknya pembajak yang naik ke atas kapal MV Sinar Kudus (30-50 orang bersenjata lengkap) sehingga bisa jadi diperlukan pengerahan ratusan anggota pasukan elit TNI. Kalau sudah begini skenarionya, mari kita lihat apa yang pernah dilakukan oleh Jerman ketika mencoba membebaskan (dan gagal!) kapal Hansa Stavanger yang dibajak di perairan Somalia pada pertengahan 2009 seperti dilaporkan oleh koran Der Spiegel.
Kapal Hansa Stavanger milik Jerman dibajak oleh 30 orang pembajak Somalia bersenjata lengkap pada 4 April 2009. Tiga minggu setelah dibajak, Pemerintah Jerman memutuskan untuk tidak memenuhi tuntutan pembajak dan memilih opsi militer. Kanselir Jerman Angela Merkel mengeluarkan perintah untuk mengirim pasukan khusus GSG-9 (Grenzschutzgruppe 9) yang reputasinya dikenal seantero dunia untuk merebut kapal Hansa Stavanger.
Berapa jumlah anggota GSG-9 yang dikirim? Tidak tanggung-tanggung, 200 orang termasuk staf logistik, telekomunikasi, dan pendukung lainnya. Inilah operasi GSG-9 terbesar dalam sejarah Jerman dari segi besarnya jumlah pasukan dan biaya yang dikeluarkan, konon mencapai beberapa juta Euro.
Ternyata mengirim 200 anggota pasukan elit ke Somalia bukan soal sepele. Kalau hanya mengangkut orang sih gampang, tetapi mengangkut helikopter, perahu cepat, dan persenjataan justru jadi masalah. Pemerintah Jerman terpaksa menyewa pesawat-pesawat raksasa keluaran Rusia yang menjadi satu-satunya pilihan: dua Antonov An-124, tiga Ilyushin Il-76, beserta satu Transall dan satu Airbus, semuanya hanya untuk mengangkut logistik.
Dua ratus anggota GSG-9 diberangkatkan ke Mombasa, ibukota Kenya, negara tetangga Somalia. Bahari Beach Hotel disulap menjadi markas komando GSG-9 dengan tetap berusaha menyembunyikan kerahasiaan operasi militer. Walau demikian, beberapa tamu hotel tetap menaruh curiga terhadap kehadiran pria-pria tegap yang berenang di kolam renang hotel dengan kecepatan luar biasa, atau duduk di bar tetapi tidak minum bir melainkan air putih biasa.
Dua ratus anggota pasukan elit GSG-9 dan logistik super lengkap tetap bukan jaminan kesuksesan sebuah operasi. Yang menjadi kesulitan terbesar adalah: bagaimana cara mendekati kapal Hansa Stavanger. Pasukan GSG-9 menumpang kapal perang Amerika USS Boxer, diiringi oleh 4 kapal perang Jerman yang diawaki oleh total 800 orang, pelan-pelan mendekati pantai Harardere di Somalia yang diduga sebagai tempat kapal Hansa Stavanger ditambatkan. Senjata sudah dikokang, anggota GSG-9 menatap nyalang kapal Hansa Stavanger, posisi pembajak dan sandera sudah diketahui dengan detil, tapi justru kesulitan terbesar muncul: bagaimana mendekati kapal Hansa tanpa diketahui pembajak?
Kapal Hansa dijaga oleh 30 pembajak dan selalu diterangi lampu. Jika didekati dengan helikopter, suaranya bisa didengar dari jauh dan para pembajak akan dengan cepat menembak helikopter. Sempat terpikir mengirim kapal selam untuk diam-diam mendekati kapal, lalu pasukan katak diam-diam memasuki kapal dan membuka jalan bagi masuknya pasukan yang lebih banyak, tapi strategi ini gagal karena kapal selam yang dipanggil untuk mendukung operasi ini tidak sampai tepat waktu ke lokasi.
Mempertimbangkan besarnya resiko yang dihadapi dengan taruhannya adalah nyawa para sandera, Penasihat Keamanan Dalam Negeri Amerika, James Jones, menyarankan Jerman untuk membatalkan operasi militer. Saran itu disetujui oleh Jerman yang selanjutnya memerintahkan kedua ratus anggota pasukan elit GSG-9 dan 800 kru dari 4 kapal perang untuk kembali ke Mombasa dan selanjutnya kembali ke Jerman.
Empat bulan kemudian kapal Hansa Stavanger dilepaskan oleh para pembajak. Bukan lantaran operasi militer, tapi karena pemilik kapal memutuskan untuk membayar tebusan sebanyak US$ 2,75 juta, jauh turun dari penawaran awal sebanyak US$ 15 juta, juga lebih murah dibanding biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah Jerman untuk mengirim pasukan elitnya.
* * *
Belajar dari kasus Hansa Stavanger, negara seperti Jerman yang memiliki pasukan elit tersohor seperti GSG-9 bahkan memilih membatalkan opsi militer. Jika tujuannya hanya untuk membebaskan kapal yang dibajak memang mudah, tetapi jika tujuannya adalah membebaskan sandera HIDUP-HIDUP maka operasi militer menjadi pilihan sulit.
Bagaimana dengan Malaysia yang baru-baru ini berhasil membebaskan kapal dagangnya melalui operasi militer? Yang terjadi di lapangan jauh berbeda. Ketika kapal dagang Bunga Laurel diserbu pembajak, awak kapal dengan cepat masuk ke ruang isolasi dan mengirim sinyal SOS. Kebetulan ada kapal perang milik Malaysia (KD Bunga Mas 5) yang memang berpartisipasi dalam operasi pengamanan jalur perlintasan kapal di Teluk Aden berada 12 mil dari Bunga Laurel. Dengan bantuan helikopter Perancis, tentara Malaysia berhasil mengusir para pembajak yang belum sempat naik ke kapal Bunga Laurel, dan menahan 5 orang pembajak yang sempat naik.
Jadi untuk kasus Bunga Laurel kuncinya ada dua: kecepatan mengirim sinyal SOS dan nasib (keberuntungan) bahwa ada kapal perang Bunga Mas 5 yang berada tidak jauh dari sana.
Malaysia juga pernah berada dalam situasi sulit seperti yang dialami oleh Indonesia dan MV Sinar Kudus, yaitu ketika dua kapalnya (Bunga Melati 2 dan Bunga Melati 5 ) dibajak di perairan Somalia. Kedua kapal dibebaskan tidak melalui operasi militer, tapi Pemerintah Malaysia membayar tebusan US$ 2 juta untuk setiap kapal.
Jadi tidak 100% betul jika ada yang beranggapan militer Malaysia lebih jago dalam upaya pembebasan kapal yang dibajak. Kuncinya adalah kecepatan melapor dan sedikit keberuntungan. Jika dua hal itu tidak ada, membayar tebusan adalah pilihan terbaik, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar pemilik kapal yang dibajak oleh pembajak Somalia.
Semoga pihak yang geregetan ingin melihat aksi Denjaka atau Kopassus menyerbu MV Sinar Kudus tidak kecewa setelah membaca tulisan saya.
SUMBER : http://hankam.kompasiana.com/